Integrasi Nilai-nilai Agama
dalam Pendidikan Karakter
Prof. Dr. Miftah Faridl
Dunia pendidikan kita dewasa ini tengah dihadapkan pada satu kebutuhan mendesak berkaitan dengan tuntutan peran kontributif dalam membangun karakter bangsa. Hal ini mengemuka terutama karena kenyataan semakin memudarnya nilai-nilai yang menjadi warna khas bangsa Indonesia sejak ratusan tahun silam. Berbagai karakter yang telah ikut membentuk masyarakat Indonesia diakui ataupun tidak kini semakin tergeser dengan “karakter” baru yang belum tentu sesuai dengan watak kebudayaan asli bangsa. Dalam kenyataan seperti inilah pendidikan diharapkan mampu menjadi saluran penguatan nilai-nilai dasar masyarakat Indonesia, baik yang bersumber pada budaya lokal maupun agama.
Berkenaan dengan kebutuhan di atas, maka di antara isu penting berkaitan dengan tema pendidikan di Indonesia saat ini adalah semakin menguatnya kesadaran akan pentingnya mengungkap segenap potensi lokal yang dimiliki untuk tujuan pengembangan pendidikan. Pemikiran ini terutama berkembang bersamaan dengan mulai disadarinya bahwa pendidikan selama beberapa dasawarsa terakhir telah mengalami kegagalan dalam membentuk bangsa yang berwatak dan mandiri. Sulitnya menemukan solusi atas berbagai persoaloan itu juga karena pada kenyataannya pendidikan hampir selalu dihadapkan pada tantangan yang semakin kompleks seiring telah terjadinya proses transformasi sosial yang semakin kuat melilit masyarakat.
Tantangan dunia pendidikan dewasa ini terletak, antara lain, pada kemampuan dunia pendidikan dalam memberikan solusi-solusi alternatif berkenaan dengan kecenderungan baru perubahan masyarakat yang dihadapinya. Sebab dari sudut pandang apapun, pendidikan merupakan salah satu kompnen penting dalam sistem sosial budaya suatu masyarakat. Dengan demikian, pendidikan juga merupakan instrumen penting yang ikut menentukan warna perubahan kebudayaan, sekaligus ikut terlibat dalam menentukan berbagai pola kehidupan yang dianutnya, seperti apa yang terefleksikan dalam tradisi komunikasi, budaya ekonomi, kecendrungan politik dan lain sebagainya.
Berkenaan dengan hal itu, tulisan ini secara sederhan akan mengelaborasi fungsi-fungsi agama dalam memperkuat peran pendidikan yang sejatinya menjadi agen perubahan dan pembentukan masyarakat terutama ketika menghadapai berbagai perubahan sebagi akibat dari kuatnya arus transformasi sosial-budaya yang telah dan sedang dilaluinya. Selain mencoba mengungkap pemikiran tentang bagaimana sejatinya pendidikan dapat merespon berbagai persoalan yang berkembang di masyarakat, tulisan ini juga akan mencoba mendiskusikan konsep-konsep dasar terkait dengan solusi yang dipandang mungkin dapat diimplementasikan.
Melemahnya Orientasi Nilai
Masalah utama yang dihadapi dunia pendidikan kita saat ini adalah adanya kenyataan bahwa sebagian besar anggota masyarakat belum memahami secara utuh falsafah serta arti penting pendidikan bagi kehidupan. Pendidikan secara umum belum dipandang sebagai salah satu kekuatan dalam mengontruksi nilai-nilai serta membentuk kebudayaan dalam masyarakat. Pendidikan juga belum menjadi sumber kekuatan dalam menentukan karakter, jatidiri, serta identitas budaya dari sesuatu masyarakat. Pendidikan baru dipahami secara sangat sederhana, atau bahkan pragmatis, sebagai jembatan untuk memperoleh pekerjaan.
Konsekuensinya, anak didik hanya menjadi obyek yang tidak kreatif dalam menemukan jatidirinya, terutama melalui proses ”pemasungan” potensi diri anak didik yang berlangsung dalam apa yang biasa disebut proses pembelajaran. Tidak heran jika anak didik kemudian tidak pernah bisa memahami potensi dirinya, sekaligus merasa gelap dalam menentukan masa depannya. Lebih celaka lagi, melalui pola pembentukan yang didisain dalam kurikulum sekolah, pendidikan telah terjebak dalam menggiring anak didik keluar dari karaktreristik dirinya. Mereka menjadi semacam kepanjangan tangan ambisi pihak-pihak yang ada di luar dirinya, baik guru maupun orang tua.
Atas dasar pemikiran di atas, dapat dianalisis bahwa memasuki era perubahan dan persaingan ke depan, secara sosiologis, bangsa Indonesia saat ini tengah mengalami masa transisi yang dapat menguntungkan atau bahkan mungkin sebaliknya, dapat pula merugikan. Sejauh yang dapat teramati, dalam kondisi transisi ini, dunia pendidikan sesungguhnya dapat memainkan perannya secara dinamis dengan memanfaatkan titik-titik strategis program pembelajaran untuk melakukan proses rekayasa sosial khususnya menuju masyarakat ke depan yang lebih baik.
Persoalannya sekarang adalah, bagaimana sistem pendidikan yang selama ini digunakan untuk kepentingan di atas? Apakah pendidikan secara nasional telah memberikan peluang pencerahan bagi pembentukan masyatakat baru yang memiliki karakter khas sesuai nilai-nilai yang berlaku dalam ruang budaya setempat?
Pendidikan saat ini memang masih terkesan baru merupakan semacam asesoris kehidupan, sebagai salah satu instrumen agar suatu bangsa dikatakan maju dan berperadaban. Tetapi, pendidikan yang dimaksudkan dalam tulisan ini adalah pendidikan yang dapat membebaskan masyarakat dari tradisi-tradisi yang hanya akan memenjarakan kehidupan. Dinamika sosial sebagai instrumen perubahan menuju masyarakat “baru” yang lebih produktif dan fungsional masih sulit dikembangkan karena pola pendidikannya yang relatif masih belum memberikan kebebasan untuk menjadi manusia secara utuh.
Sebut saja misalnya, guru di sekolah ataupun orangtua di rumah, saat ini secara tidak sadar sering kali menjadi sosok yang begitu dominan dalam menentukan masa depan anak. Guru ataupun orang tua berperan dominan dalam membuat standar minat yang harus dilalui anak-anak mereka. Padahal Kahlil Gibran pernah memberikan nasihat provokatif dan edukatif agar tidak memasukan anak-anak ke dalam penjara dan cita-cita orang tua mereka. Guru ataupun orang tua bukanlah segala-galanya bagi perkembangan dan masa depan anak. Dan membimbing tidak berarti menggiring, seperti halnya seorang pengembala yang mengikat ternak gembalanya agar selalu turut mengikuti kehendaknya.
Proses pendidikan, dengan demikian, adalah proses bimbingan yang memerdekakan sekaligus mencerahkan. Pendidikan merupakan faktor dominan untuk menciptakan dan meningkatkan kehidupan yang sejahtera. Al-Qur’an mengisyaratkan pentingnya pendidikan: “… Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan” (Q.S. al-Mujadilah: 11). Ditegaskan pula pada beberapa ayat lainnya, seperti pada Surah Al-‘Alaq ayat 1, 4 dan 5.
Proses seperti itu sejatinya berlangsung secara alamiah dalam kehidupan yang terbebas dari ikatan-ikatan yang justeru tidak mendidik. Dalam kerangka seperti inilah, maka sekolah bisa berperan sebagai lembaga yang membimbing dan mencerahkan, atau bisa juga sebaliknya, jika tidak tepat memainkan peran yang sesungguhnya, bisa saja berfungsi sebagai penjara yang hanya mampu menanamkan disiplin semu. Anak-anak bisa menjadi manusia yang paling salih di sekolah, tetapi menjadi binatang liar ketika keluar dari dinding-dinding kelas dan terbebas dari pengawasan sang guru.
Kegagalan atau keberhasilan pendidikan sekolah akhirnya tidak bisa dilihat secara sepihak. Ia harus melibatkan berbagai unsur yang sama-sama berpengaruh terhadap eksistensi anak didik secara utuh. Keluarga serta lingkungan sosial lainnya di luar sekolah, misalnya, merupakan unsur pembentukan kepribadian anak yang pada gilirannya dapat berpengaruh lebih besar dibanding kekuatan sekolah sendiri. Sebab interaksi antar pribadi yang dibangun melalui proses sosialisasi diri yang dilaluinya akan lebih mampu mempercepat proses internalisasi nilai-nilai ketimbang melalui interaksi formal di sekolah yang kadang-kadang lebih terpenjara oleh sistem kurikulum yang dikembangkannya.
Karena itu, tidak ada kamusnya bagi orang tua yang telah menitipkan anak-anaknya ke sekolah untuk mempercayakan sepenuhnya perkembangan kepribadian mereka hanya kepada sekolah. Komunikasi insani yang berlangsung di luar sekolah, termasuk di dalam lingkungan keluarga, juga dapat berperan sebagai proses belajar mengajar yang langsung ataupun tidak langsung dapat mentranformasikan nilai-nilai sesuai kultur dan idiologi yang tersusun tanpa kurikulum.
Atas dasar pemikiran tersebut, maka sistem pendidikan nasional yang secara konstitusional diberlakukan di seluruh Indonesia, idealnya mampu mmemberikan pencerahan untuk memanusiakan manusia, sesuai dengan fitrah penciptaannya sebagai mahluk yang bebas berbudaya. Pendidikan nasional bukanlah “alat” pemasung kreatifitas komunitas pendidikan, tetapi merupakan instrumen pembebas untuk menemukan identitas dirinya sesuai dengan watak dasar serta budaya masyarakatnya. Pendidikan nasional memang bukan alat rekayasa sosial sesuai dengan kehendak dan cita-cita yang terumuskan melalui kesepakatan formal. Tetapi pendidikan nasional merupakan wujud budaya bangsa yang termanisfestasikan dalam proses pendewasaan menuju identitas yang sesungguhnya.1[*]
Jika identitas bangsa adalah identitas yang tercerahkan atas dasar semangat relijiusitas dari kekuatan idiologis yang dianutnya, maka landasan pendidikan nasional seharusnya merupakan wujud kekukatan Iman dan Taqwa (Imtaq) seperti menurut persepsi yang sesungguhnya. Sedangkan dimensi Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Iptek) dalam kerangka sistem pendidikan nasional merupakan orientasi penggenap agar pendidikan dapat memberikan bekal pragmatik bagi warga didik untuk bertahan dalam dinamika kehidupan yang dihadapinya.
Karena itu pendidikan nasional di Indonesia seharusnya menjadi instrumen sosial yang berfungsi memberikan jaminan terpeliharanya pluralitas bangsa baik dilihat dari sisi kultur, bahasa, budaya, maupun agama. Dan sistem pendidikan nasional itu sendiri hanyalah semacam kekuatan konstitusional untuk memberikan jaminan terhadap proses penyelenggaraan pendidikan, baik di lembaga-lembaga pendidikan formal maupun non formal. Pendidikan nasional tidak seharusnya terjebak dalam proses sentralisasi substansi pendidikan. Sebab pendidikan merupakan cermin budaya masyarakat dengan tingkat pluralitasnya masing-masing. Melalui pendidikan, masyarakat dapat memahami sekaligus meningkatkan daya apresiasinya yang kondusif bagi pembinaan masyarakat, yang pada gilirannya akan melahirkan karakter budaya yang positif dan konstruktif. Sebab tanpa semangat spirit seperti itu pendidikan tidak berarti apa-apa, khususnya bagi pengembangan karakter bangsa di tengah-tengah masyarakat plural seperti halnya di Indonesia.
Penguatan Basis Keagamaan
Agama pada dasarnya merupakan bagian yang melekat pada kehidupan. Ia menjadi sumber nilai yang berpengaruh terhadap perkembangan setiap individu sesuai potensi masing-masing. Karena itu, jika pendidikan dimaksudkan sebagai fasilitas sosial untuk mengembangkan potensi manusia, maka agama sejatinya menjadi bagian yang juga melekat secara fungsional, baik pada aspek landasan yang menjadi fondasi penyelenggaraan aktivitas pendidikan, substansi pembelajaran yang menjadi sarana internalisasi nilai-nilai, maupun pendekatan-pendekatan yang sebaiknya diterapkan yang akan menjadi jalan untuk memperlicin usaha pencapaian tujuannya.
Dalam konteks seperti itu, agama merupakan sumber nilai yang dapat dikembangkan untuk membangun karakter anak didik. Posisi pendidikan karakter yang menempati sisi relatif dalam pendidikan dapat diisi dengan nilai-nilai ajaran. Nilai-nilai di luar agama yang juga dapat memberikan kontribusi signifikan dalam proses pendidikan karakter dapat digeser dengan agama yang memiliki kekuatan universal yang lebih bisa dipertanggungjawabkan. Proses seleksi alam dalam menentukan kekuatan dominan inilah yang akan menjadi muatan penting pendidikan, baik pada tataran konsep makro maupun pada strategi implementasi mikro dalam ruang aktivitas pembelajaran.
Islam memiliki sumber nilai bagi pembangunan Karakter Bangsa. Transformasi nilai-nilai Islam perlu dilakukan dalam bingkai dan sistem Pendidikan Nasional. Islam menekankan pentingnya kualitas sebagai dasar untuk membangun Karakter Bangsa di antaranya dapat ditawarkan: pertama, Totalitas kepribadian dalam Iman dan Taqwa Q.S. Ali Imran :102; kedua, Totalitas dalam berislam Q.S. al-Baqarah 208; Ali Imran 19,64 dan 85; ketiga, Threatment yaitu memelihara selalu dalam shibgah Allah SWT Q.S. 138; keempat, konsisten (istiqamah) yaitu teguh pendirian Q.S. as-Syura 15, al-Anfal 45, Hud 112, Fushilat 30; kelima, Mandiri, berani Q.S. al-Anfal 53; Ali Imran 64; dan keenam, pengendalian diri Q.S. Ali Imran 133.
Oleh karena itu, dalam perspektif penerapan nilai-nilai agama, sekurang-kurangnya ada dua agenda penting yang dapat dilakukan untuk menyiapkan pendidikan agar sanggup memainkan peran fungsional dalam pembentukan karakter suatu bangsa. Pertama, merumuskan strategi integrasi muatan agama dalam kurikulum pendidikan. Kurikulum yang berbasis nilai-nilai agama ini akan menjadi acuan dasar dalam keseluruhan praktik pendidikan, khususnya menyangkut substansi pembelajaran yang akan menjadi menu utama para peserta didik.
Kedua, menyiapkan sumber daya manusia, baik menyangkut tenaga pendidik maupun kependidikan, untuk memelihara proses internalisasi nilai-nilai agama dimaksud dalam setiap aktivitas pembelajaran yang diembannya. Proses pendidikan pada akhirnya akan bertitik pusat pada tenaga pendidikan sebagai aktor utama dalam memfasilitasi peserta didik untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkannya. Tenaga pendidik dan kependidikan inilah yang kelak akan menjadi sumber perubahan, sekaligus pihak yang paling memahami perkembangan yang dilalui setiap peserta didik. Dalam keseluruhan proses yang dilaluinya, termasuk pada tahap evaluasi dan penilaian (seperti halnya dalam proses Ujian Nasional yang hampir selalu mengundang kontroversi), lapisan tenaga pendidik ini tidak bisa disia-siakan ataupun diabaikan.
Daftar Bacaan:
Al-Qur’an al-Karim
Abdulrahim, Muhammad Imaduddin. 1995. Islam: Sistem Nilai Terpadu. Bandung: Pustaka Salman
Goleman, Daniel. 2003. Emotional Intelligence, Mengapa EI Lebih Penting daripada IQ. Jakarta: Gramedia.
Mastuhu. 2004. Menata Ulang Pemikiran Sistem Pendidikan Nasional dalam Abad 21. Yogyakarta: Safiria Insania Press.
Soewardi, Herman. 2000. Mempersiapkan Kelahiran Sains Tauhidullah. Bandung: Bakti Mandiri.
Supriadi, Dedi. 2004. Membangun Bangsa Melalui Pendidikan. Bandung: Remaja Rosdakarya.
W.G. Allport, M.A.W. Brouwer. 1979. Kepribadian Dan Perubahannya. Jakarta: Gramedia.
[*]Manusia yang memiliki kepribadian (insan berwatak; insan berkarakter) dimaknai sebagai manusia yang memiliki (total human being) yaitu kepribadian (istiqamah), amanah, siddiq, fatonah dan tabligh. Lihat penjelasan W.G. Allport, M.A.W. Brouwer, Kepribadian Dan Perubahannya (Jakarta: Gramedia, 1979), h. 105; Calvin S. Hall & Lindzey, Theories of Personality (John Wiley & Sons, 1970).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar