REGLEMEN INDONESIA YANG DIPERBARUI
(Het Herziene Indonesisch Reglement.)
Bagian 2. Bukti.
Pasal 162.
Tentang bukti dan hal menerima atau menolak alat bukti dalam perkara perdata, pengadilan negeri wajib memperhatikan peraturan pokok tersebut di bawah ini. (IR. 293 dst.)
Pasal 163.
Barangsiapa mengaku mempunyai suatu hak, atau menyebutkan suatu kejadian untuk meneguhkan hak itu atau untuk membantah hak orang lain, harus membuktikan adanya hak itu atau adanya kejadian itu. (KUHPerd. 1865.)
Pasal 164.
Alat-alat bukti, Yaitu:
bukti tertulis, (KUHPerd. 1867 dst.; IR. 165, 168; S. 1867-29.)
bukti saksi, (KUHPerd. 1895; IR. 168 dst.)
persangkaan, (KUHPerd. 1915; IR. 173.)
pengakuan, (KUHPerd. 1923 dst.; IR. 174 dst.)
sumpah, (KUHPerd. 1929 dst.; IR. 155 dst., 177, 381.)
semuanya dengan memperhatikan peraturan yang diperintahkan dalam pasal-pasal berikut.
(KUHPerd. 1866; JR. 295.)
Pasal 165.
Akta otentik, yaitu suatu surat yang dibuat oleh atau di hadapan pegawai umum yang berwenang untuk membuatnya, mewujudkan bukti yang cukup bagi kedua belah pihak dan ahli waris masing- masing serta sekalian orang yang mendapat hak darinya tentang segala hal yang disebut di dalam surat itu dan tentang hal yang tercantum dalam surat itu sebagai pemberitahuan; tetapi yang tersebut temkhir ini hanya sekedar yang diberitahukan itu langsung menyangkut pokok akta itu.
(KUHPerd. 1868, 1870 dst.; Sv. 380 ; IR. 168, 304.)
166. Dicabut dg. S. 1927-146.
Pasal 167.
(s.d.u. dg. S- 1927-146; S. 1938-276.) Untuk keuntungan siapa saja, kepada pembukuannya dapat diberikan oleh pengadilan negeri sekian kekuatan bukti, yang dianggapnya patut dalam tiap-tiap hal yang istimewa. (KUHD 7; IR-304.)
Pasal 168.
Sampai diadakan penuturan lain tentang perkara-perkara yang membolehkan penggunaan bukti saksi, pengadilan negeri harus tetap menggunakan hukum yang berlaku bagi bangsa Indonesia dan bangsa Timur Asing tentang hal itu.
Pasal 169.
Keterangan dari seorang saksi saja, tanpa suatu alat bukti lain, tidak dapat dipercaya dalam hukum. (KUHPerd. 1905; Sv. 376; IR. 300.)
Pasal 170.
Jika kesaksian-kesaksian yang terpisah-pisah dan berdiri sendiri dari beberapa orang tentang beberapa kejadian dapat meneguhkan perkara tertentu karena kesaksian-kesaksian itu sesuai dan berhubungan satu sama lain, maka kekuatan bukti hukum sepanjang yang akan diberikan kepada kesaksian-kesaksian yang beraneka ragam itu, hal itu diserahkan kepada pertimbangan hakim, berhubung dengan keadaan. (KUPPerd. 1905; Sv. 3'6; JR. 300.)
Pasal 171.
(1) Tiap-tiap kesaksian harus disertai keterangan tentang bagaimana saksi mengetahui kesaksiannya.
(2) Pendapat atau dugaan khusus yang timbul dari pemikiran, tidak dipandang sebagai kesaksian.
(KUHPerd. 1907; Sv. 376; IR. 301.)
Pasal 172.
Dalam hal menimbang nilai kesaksian itu, hakim harus memperhatikan: cocoknya para saksi satu sama lain; kesesuaian kesaksian-kesaksian mereka dengan apa yang diketahui dari sumber lain tentang perkara yang bersangkutan; semua alasan para saksi untuk menerangkan duduk perkaranya dengan cara begini atau begitu; peri kehidupan, adat istiadat dan kedudukan para saksi; dan pada umumnya, segala hal yang dapat menyebabkan saksi itu dapat dipercayai atau kurang dipercayai. (KUHPerd. 1908; Sv. 378; IR. 302.)
Pasal 173.
Dugaan-dugaan yang tidak berdasarkan suatu peraturan undang-undang, hanya boleh diperhatikan oleh hakim dalam menjatuhkan keputusannya, jika dugan-dugaan itu penting, saksama, tertentu dan sesuai satu sama lain. (KUHPerd. 1916, 1921 dst.; Sv. 370; IR. 294.)
Pasal 174.
Pengakuan yang diucapkan di hadapan hakim, cukup menjadi bukti untuk memberatkan orang yang mengaku itu, entah pengakuan itu diucapkannya sendiri, entah dengan perantaraan orang lain, yang diberi kuasa kbusus. (KUHPerd. 1925; Rv. 256 dst., 383; IR. 176, 307.)
Pasal 175.
Menentukan gunanya suatu pengakuan lisan yang diberikan di luar hukum, itu diserahkan kepada pertimbangan dan kewaspadaan hakim. (KUHPerd. 1928; Sv. 387 dst.)
Pasal 176.
Tiap-tiap pengakuan harus diterima seluruhnya; hakim tidak berwenang untuk menerima sebagian dan menolak sebagian lagi, sehingga merugikan orang yang mengaku itu, kecuali jika seorang debitur dengan maksud melepaskan dirinya, menyebutkan hal yang terbukti tidak benar. (KUHPerd.
1924; IR. 174.)
Pasal 177.
Dari orang yang di dalam suatu sidang telah mengangkat sumpah yang dibebankan atau dikembalikan kepadanya oleh lawannya atau dibebankan kepadanya oleh hakim, tidak boleh diminta keterangan lain untuk meneguhkan kebenaran sumpahnya. (KUHPerd. 1936; IR. 155 dst.)